Jumat, 29 Januari 2010

CELURIT

Oleh: Ali Supojo Putro



gbr. Celurit 'Lancor'


Boleh jadi, begitu mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang bakal terbayang alam yang tandus, wajah yang keras dan perilaku menakutkan. Kesan itu seolah menjadi benar tatkala muncul kasus-kasus kekerasan yang menggunakan celurit dengan pelaku utamanya orang Madura. Celurit memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, Jawa Timur. Senjata tajam yang berbentuk melengkung ini begitu melegenda. Sejak dahulu kala hingga sekarang, hampir setiap orang di Tanah Air mengenal senjata khas etnis Madura ini. Kendati demikian tak semua orang mengetahui sejarah dan proses sebuah celurit itu dibuat hingga dikenal luas.

Celurit pada mulanya bernama Calo Kudi, yaitu senjata berbentuk melengkung, di kepala parangnya ada seperti kucir yang biasanya digunakan untuk mencungkil barang yang kecil-kecil. Sedangkan bagian yang tajam, berada di tengah bagian bawah. Di daerah asalnya, di Tumpang daerah Malang Selatan, calo kudi biasanya digunakan sebagai peralatan kebutuhan sehari-hari di rumah. Akan tetapi, pada masa kejayaan Majapahit sekitar abad ke-14, calo kudi berkembang fungsinya menjadi pusaka andalan dalam peperangan.

Senjata Calo Kudi sampai di pulau Madura karena jasa dua orang bersaudara, Raden Adi Podai dan Raden Adi Ciptoroso, prajurit utusan Majapahit, untuk menumpas pemberontakan Adipati Carak Cangi dari Ambuten (Madura) yang bersekutu dengan gerombolan bajak laut dari Klungkung (Bali) di bawah pimpinan I Gede Anggasuta .

Terlepas dari kebenaran informasi ini, ternyata pada masa Raden Adi Podai dan Raden Adi Ciptoroso, yang kemudian dinobatkan menjadi Demang ini, senjata calo kudi mulai dikenal dan semakin popular di kalangan masyarakat Madura. Saat ini hampir setiap masyarakat Madura memiliki atau menyimpan senjata yang bentuk dan modelnya mirip dengan Calo Kudi pusaka Raden Adi Podai dan Raden Adi Ciptoroso itu. Oleh masyarakat setempat, berdasarkan bentuk dan ukurannya senjata ini dikenal dengan nama lain, yaitu: yang ukurannya kecil diberi nama Sada’; yang ukurannya tanggung/sedang, terutama yang bentuknya menyerupai bulu ekor ayam jantan diberi nama Lancor; dan yang ukuranya besar diberi nama Larkang .

Keberadaan celurit punya makna filosofi di mata orang Madura, ini bisa dilihat dari bentuknya yang seperti tanda tanya, itu menunjukkan bahwa orang Madura selalu tidak puas terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit selalu diletakkan di pinggang samping kiri, karena menurut orang Madura tradisi seperti itu sebagai upaya pembelaan harga diri laki-laki di Madura, dan sebagai pelengkap karena tulang rusuknya laki-laki kurang satu. Makanya orang Madura menggunakan celurit untuk melengkapi tulang rusuknya yang kurang satu. Celurit untuk membela istri, harta, dan tahta ketika digangu orang lain, dan orang laki-laki Madura belum lengkap tanpa celurit.

Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di Pulau Madura. Tersebutlah sebuah desa kecil bernama Peterongan. Kampung ini terletak di Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Di sana, sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan leluhur sejak ratusan tahun lampau. Tak salah memang, bila desa ini menjadi kondang. Maklum, celurit buatan para perajin di Desa Peterongan itu dikenal kokoh dan halus pengerjaannya. Bagi seorang pandai, membuat celurit adalah bagian dari napas kehidupannya. Celurit tak hanya sekadar dimaknai sebagai benda tajam yang digunakan untuk melukai orang. Akan tetapi celurit adalah karya seni yang mesti dipertahankan dari warisan leluhurnya.

Oleh karena itu dalam setiap tahapan proses pembuatan celurit, selalu disertai dengan ritual-ritual khusus dengan tujuan agar apa yang dilakukan oleh seorang empu mendapat restu dari Yang Maha Kuasa dan celurit yang dihasilkannya nanti dapat memberikan manfaat bagi si-pemesan serta bagi diri si-pembuat (pandai/empu). Untuk pembuatan celurit, khususnya celurit pusaka meliputi tahapan-tahapan berikut;

1. Bahan dasar
Bahan baku yang digunakan untuk membuat celurit biasanya adalah besi atau baja (bekas rel kereta api dan per bekas mobil) serta nikel untuk celurit yang memakai pamor.

Pada zaman dahulu untuk mendapatkan besi calon (bahan yang akan digunakan untuk membuat celurit) ini dilakukan dengan cara: besi/baja calon tersebut ditaruh di bawah tempat tidur orang yang akan membuat pusaka (empu), kemudian empu tersebut segera melakukan puasa atau bertapa untuk mendapatkan wangsit (petunjuk) dari Tuhan, apakah besi calon tadi baik untuk dibuat pusaka atau tidak. Tapa atau puasa yang dilakukan oleh seorang empu, antara lain: Puasa Ngalong (tidak tidur di waktu malam); Puasa Mutih (tidak makan garam dan makanan yang dibuat dari bahan beras), serta Puasa Ngrowot (hanya makan sayur dan umbi-umbian).

Sekalipun penduduk Madura umumnya beragama Islam, bentuk-bentuk kepercayaan lama belum dapat mereka tinggalkan. Hal ini terbukti masih banyaknya warga masyarakat yang mengadakan kegiatan upacara tradisional yang erat hubungannya dengan kepercayaan dinamisme, animisme ataupun kepercayaan-kepercayaan lain. Mereka percaya, bahwa dunia ciptaan Tuhan ini selain didiami oleh manusia, tumbuh-tumbuhan dan binatang, juga didiami oleh mahluk halus dan kekuatan gaib. Mahluk halus tersebut oleh orang Madura sering dianggap menempati tempat-tempat tertentu yang disebut dalam bahasa Madura patogunan (penunggu) atau yang berkuasa. Misalnya disudut-sudut ruangan rumah, pintu masuk rumah, di dalam kamar terutama yang ada jimatnya dan sebagainya. Mereka juga percaya, bahwa kekuatan gaib terdapat pada benda-benda yang dianggap keramat, seperti jimat, pusaka-pusaka peninggalan leluhurnya. Membakar kemenyan/dupa setiap malam Jum’at masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura, sebagai sambutan terhadap leluhur yang mungkin hadir dalam pekarangan/rumah. Pengasapannya dilakukan berturut-turut, terutama tempat yang ada kerisnya, jimatnya, Alqur’an, pintu, kamar, bahkan sampai sudut pekarangan rumah.

Oleh karena itu, tapa atau puasa yang dilakukan oleh seorang empu selama proses pengerjaan celurit merupakan simbolisme dalam religi, sebagai upaya untuk menambah kekuatan batinnya sendiri agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta (jagad gedhe) atau makrokosmos, sehingga kekuatan alam semesta dapat dikalahkan atau diselaraskan demi keselamatan diri si-empu dan si-pemesan celurit. Usaha ini ditempuh dengan jalan berprihatin (merasakan perihing batin) dengan cara berpuasa dan mengurangi tidur. Bentuk laku prihatin cara lain adalah nyenen kemis (puasa Senin dan Kamis), berpuasa pada hari wetonan (kelahiran) menurut perhitungan pasaran Jawa (legi, pahing, pon, wage, kliwon). Dan yang paling berat adalah melaksanakan pati geni – berpantang makan, minum dan tidak melihat sinar apa pun selama 40 hari 40 malam. Usaha ini untuk menambah kekuatan batin.

Sesudah mendapat wangsit yang berupa mimpi atau yang lain, besi tersebut segera dibawa ke pasar atau tempat yang ramai. Apabila besi tersebut masih ada orang yang melihat/memegang/mengambilnya, maka besi tersebut segera dibawa pulang dan diletakkan dibawah tempat tidur, kemudian si-empu kembali melanjutkan tapanya seperti semula. Apabila nanti mendapat wangsit lagi maka besi tersebut segera dibawa ke tempat yang ramai. Setelah tidak terlihat orang, barulah besi itu digunakan untuk membuat pusaka.

2. Persiapan yang dilakukan sebelum memulai proses pembuatan celurit
Setelah mendapatkan besi calon, proses pembuatan celurit, khususnya untuk celurit pusaka, diawali dengan pemilihan hari dan bulan baik, dengan tujuan agar celurit yang akan dibuat menjadi sakti dan berguna bagi si-pemakainya, serta untuk menghindarkan naas. Hari baik yang dimaksudkan disini adalah hari yang sesuai dengan watak atau daya sugesti dari suatu jenis logam, atau yang sesuai dengan daya gaib dari senjata yang akan dibuat nanti. Adapun hari baik ini diperoleh dari wangsit sewaktu bersemedi/bertapa. Biasanya dipilih hari Jum’at Pon, Sabtu Wage, Minggu Kliwon atau pada saat gerhana bulan. Hari kelahiran dan hari kematian orang tua si-pemesan celurit, merupakan pantangan untuk memulai membuat celurit. Sementara bulan yang dianggap baik untuk mulai membuat celurit, pada umumnya dipilih setelah Bulan Maulud sampai Bulan Besar, dan pantangan di Bulan Muharam sampai Maulud.

Semua hitungan waktu/hari baik tersebut dikenal dalam primbon Jawa. Pemilihan hari baik dan bulan baik ini didasarkan pada, bahwa semua hal di dunia manusia memiliki pola hubungannya satu sama lain. Setiap benda menempati ruangnya sendiri yang relatif terhadap keberadaan benda-benda yang lain. Keyakinan seperti ini membuat celurit yang akan dibuat harus memiliki kecocokan (berjodoh) dengan si-pemesan. Keselamatan dan kebahagiaan seseorang dengan celurit yang dipesannya, atau kesaktian/tuah dari celurit itu sendiri, merupakan perhitungan koordinat waktu dan ruangnya. Perkara ini banyak dikupas dalam berbagai kitab primbon. Primbon adalah koordinat nasib seseorang, melalui penelusuran jam kelahiran, hari, minggu, pasaran, wuku, tahun dan windu. Perhitungan ini menentukan tempat ruangnya seseorang (subjek), entah di tengah, timur, barat, utara, selatan, tenggara, timur laut, barat daya, barat laut. Dari ruang itu dapat ditentukan wataknya, peruntungan dan kesialannya.

3. Proses Pembuatan
Setelah diperoleh besi calon dan dipastikan hari baiknya melalui beberapa prosesi ritual yang harus dilakukan, batangan besi tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik derajat tertentu. Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan celurit yang diinginkan. Membuat celurit harus dengan penuh ketelitian. Sebab celurit harus mencirikan sebuah karya seni. Tak sekadar sepotong besi yang ditempa berkali-kali, melainkan harus memiliki arti dan makna bagi yang memilikinya.

Setiap tahapan proses, memiliki tata cara dan perlengkapan yang berbeda-beda, begitu pula ritual perawatan sebuah celurit pusaka. Bahkan tiap tahun, tepatnya pada bulan Maulid, seorang empu melakukan ritual kecil di bengkelnya. Ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di mushala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. Dan diyakini oleh masyarakat disana kalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan musibah (sakit-sakitan). Hingga kini, tombuk atau bantalan untuk menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang.

Pemberian sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga pada sebagian kelompok masyarakat berfungsi sebagai simbol persembahan kepada Tuhan dan roh nenek moyang, serta pengiring doa agar Tuhan dan arwah nenek moyang menerima dengan bahagia doa-doa mereka sambil menikmati sesajen yang dihidangkan serta bau harumnya bunga yang khas. Secara umum pemberian sesaji pada kebudayaan Jawa, dimaksudkan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan mahluk-mahluk halus, lelembut, demit dan jin yang berdiam ditempat-tempat yang dianggap keramat agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Atau sebaliknya untuk meminta berkah dan perlindungan dari Sing Mbahureksa.

Seperti halnya keris atau senjata pusaka lainnya, celurit dikerjakan oleh kaum laki-laki saja. Dan jika dilihat dari bahan yang dipakai, juga merupakan simbol-simbol kelaki-lakian. Logam yang keras dan kaku adalah simbol lingga lelaki. Oleh karena itu, mulai dari proses persiapan, upacara-upacara ritual, sampai dengan pembuatan sebuah celurit pusaka selesai, hanya pihak laki-laki saja yang terlibat didalamnya.

Begitu pula tata cara pewarisan harta benda dan barang-barang peninggalan lainnya. Untuk jenis celurit pusaka, pada umumnya yang berhak menerima warisan adalah anak laki-laki yang tertua. Alasannya, anak laki-laki yang paling tua dianggap mempunyai tanggung jawab lebih besar dari pada saudara-saudaranya yang lain, karena sebagai pengganti ayah apabila ayah tidak ada. Akan tetapi di dalam praktek sehari-hari, masih ada pertimbangan lain di dalam hal pewarisan senjata pusaka. Diantaranya adalah pewaris harus memiliki pengetahuan tentang senjata yang akan diwariskan, sehingga mampu memelihara dengan baik. Selain itu, pewaris harus memiliki kemampuan/kekuatan bathin dalam menerima senjata yang diwariskan. Dan pertimbangan lain adalah kesesuaian antara status dan profesi pewaris dengan fungsi sosial celurit pusaka yang diwariskan.

Apabila persyaratan tersebut di atas tidak terpenuhi, maka hak waris atas celurit/ pusaka dapat dipindahkan kepada saudaranya yang lain, yang dianggap memenuhi persyaratan. Menurut kepercayaan warga setempat, jika senjata/pusaka sampai diwariskan kepada orang yang tidak kuat lahir batinnya dan tidak memiliki pengetahuan tentang senjata tersebut, maka akan dapat menimbulkan bahaya atau paling tidak yoni atau kekuatan magis yang melekat pada senjata, akan hilang. Demikian pula jika orang yang menerimanya tidak mempunyai status atau profesi yang sesuai dengan fungsi sosial senjata yang diwariskan, maka tidak akan diperoleh manfaat yang diharapkan.

4. Upacara Mensucikan Pusaka
Kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib yang melekat pada sebuah senjata, dianggap dapat mendatangkan ketentraman, memberikan barokah, maupun bantuan pemecahan secara gaib terhadap berbagai macam kesulitan atau masalah, yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hal ini membuktikan bahwa kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib tersebut, membantu memberikan arah hidup kepada sebagian masyarakat Madura agar selalu menghubungkan diri dengan dunia transendental (gaib). Hal ini tampaknya dipatuhi dari kebiasaan mereka pada waktu-wktu tertentu, selalu mengadakan upacara tradisional yang berkaitan dengan senjata yaitu upacara aloco senjata (mensucikan pusaka).

Upacara aloco senjata ini dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setahun yaitu pada bulan Sura. Namun demikian, ada juga yang menyelenggarakan upaca aloco senjata setiap tiga puluh lima hari sekali, yang pada umumnya dilaksanakan pada hari Selasa Kelebun atau Jum’at Kelebun/Jum’at Manis. Untuk kelengkapam upacara ini pada umumnya disediakan kemenyan, beberapa jenis bunga, minyak wangi, cuka, jeruk nipis, bahan warangan, dan lain-lain. Tujuan upacara aloco senjata ini ialah untuk memelihara tuah/daya gaib senjata agar tetap baik, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan yang positip. Istilah aloco atau siraman, berarti menghilangkan semua polusi lingkungan yang berpengaruh buruk pada daya kosmis sebuah senjata atau tosan aji.

Dipilihnya bulan Sura, karena kebetulan bulan itu secara tradisional dipilih sebagai bulan menyucikan pusaka. Dalam bulan Sura secara serempak semua pusaka dikeluarkan dari sarungnya, maka terjadi ‘medan magnet’ massal di atas permukaan bumi. Hal ini dianggap sangat menguntungkan dan dapat menambah kekuatan daya gaib senjata yang diloco.

Selain itu kepercayaan terhadap adanya tuah/daya gaib yang melekat pada senjata, juga sangat menguntungkan dalam tata kehidupan masyarakat. Pada umumnya senjata yang memiliki kekuatan gaib, selalu mewajibkan kepada pemegangnya untuk berbuat baik terhadap sesamanya, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela.

CELURIT DAN CAROK
Senjata adalah salah satu artefak kebudayaan yang dekat dengan kekerasan. Oleh karena itu, kekerasan memiliki istilah dalam kehidupan di tiap suku bangsa yang hidup di republik kita. Kekerasanpun telah terbukti menjadi bagian sebuah budaya. Kita dapat melihat begitu beragamnya senjata khas yang dimiliki oleh tiap suku di negeri ini. Sebagian masyarakat menganggap celurit tak bisa dipisahkan dari tradisi carok yang dianut oleh sebagian orang Madura. Sayang, hingga kini, belum satu pun peneliti yang bisa menjelaskan awal mula carok menjadi bagian hidup orang Madura. Yang terang, pada dasarnya carok biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan berduel secara ksatria satu lawan satu. Biasanya, pelaku carok akan melakukan perkelahian di dalam sebuah ring yang sengaja dibuat sebagai tempat terjadi carok. Pelaku carok juga sengaja mengikatkan celurit yang mereka bawa di tangan sebagai bentuk perlawanan yang tak akan berhenti.

Carok merupakan bagian budaya yang memiliki serangkaian aturan main, layaknya bentuk budaya lainnya. Ketika pun akhirnya carok terjadi, maka tetap ada aturan main yang melingkupinya. Pelaku carok harus membunuh lawannya dari depan. Dan ketika lawannya jatuh tersungkur, maka posisi mayat menentukan proses kelanjutan dari sebuah carok. Jika mayat jatuh dengan posisi terlentang, maka keluarga si-mayat berhak melakukan balas dendam. Posisi mayat yang terlentang, seolah dijadikan komunikasi terakhir, yang dimaknai sebagai bentuk ketidakterimaan mayat terhadap kondisinya (yang menjadi korban carok). Tetapi, jika posisi mayat telungkup dengan muka menghadap tanah, maka balas dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi korban carok. Carok adalah duel satu lawan satu, dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Bahkan disertai ritual-ritual tertentu sebagai persiapan menjelang carok. Kedua belah pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari ‘H’ duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan, pembekalan, pengajian, dan lainnya. Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk terbunuh.

Latar belakang perkelahian seperti itu didasari oleh adigium Madura yang mengatakan: 'Dibandingkan dengan putih mata lebih bagus putih tulang'. Artinya, dari pada hidup malu lebih baik mati. Dengan kata lain, ketika orang Madura dipermalukan, maka ia berbuat pembalasan dengan melakukan carok terhadap yang menghinanya itu. Popularitas pepatah kuno itu menggambarkan betapa suku Madura sangat menjunjung tinggi kehormatan dan harga diri. Boleh dibilang suku yang satu ini pantang menanggung malu. Begitulah, mati mempertahankan kehormatan masih dianggap lebih baik ketimbang masuk rumah sakit, walaupun masuk rumah sakitnya karena mempertahankan kehormatan juga. Yang paling terhormat, tentu saja, yang bisa mempertahankan kehormatan tanpa harus mati atau masuk penjara.

Lingkungan sosial mengondisikan lelaki Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Konsekuensinya senjata tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian. Senjata tajam dianggap sebagai kancana sholawat (teman shalawat). Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur carok. 'Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura' (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura). 'Oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi' (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan).

Carok refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang. Kampong meji adalah kumpulan pemukiman penduduk desa yang satu dengan lainnya saling terisolasi. Solidaritas internal antar-penghuni kampong meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas cenderung rendah. Kohesi sosial antar-penduduk desa yang rapuh memperbesar peluang kekerasan massal dan disintegrasi sosial.

Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan martabat seluruh warga kampong meji. Kondisi arsitektur rumah kampong meji dengan satu pintu menghadap ke selatan mengindikasikan kehidupan penduduk desa di Madura dicekam rasa tidak aman. Berdasar posisinya, layaknya orang mati membujur ke utara, dalam keadaan tidur pun orang Madura mesti mengawasi pintu rumahnya.

Taneyan lanjang (halaman memanjang), dilihat dari susunan keluarga yang bermukim di dalamnya, dibangun keluarga yang memiliki banyak anak perempuan. Rumah-rumah dibangun untuk anak perempuan yang sudah berkeluarga. Anak perempuan dalam pemukiman taneyan lanjang mendapat proteksi khusus dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu laki-laki hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian barat. Martabat istri perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki karena istri bantalla pate (alas kematian). Mengganggu istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura. (dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar