Jumat, 29 Januari 2010

TELEVISI dan BUDAYA POPULER

Oleh: Ali Supojo Putro
Kata kunci : infotainment, mobile television, opini publik, rating, KPI


Televisi, ‘Kotak Ajaib’ yang Memikat
Televisi (TV) saat ini adalah sarana elektronik yang paling digemari dan dicari orang. Untuk mendapatkan televisi tidak lagi sesusah zaman dahulu dimana perangkat komunikasi ini adalah barang yang langka dan hanya kalangan tertentu yang sanggup memilikinya. Saat ini TV telah menjangkau lebih dari 90% penduduk di negara berkembang. TV yang dulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan dan umur tertentu saat ini bisa dinikmati dan sangat mudah dijangkau oleh semua kalangan tanpa batasan usia. Siaran-siaran TV akan memanjakan orang-orang pada saat-saat luang seperti saat liburan, sehabis bekerja bahkan dalam suasana sedang bekerjapun orang-orang masih menyempatkan diri untuk menonton televisi. Suguhan acara yang variatif dan menarik membuat orang tersanjung untuk meluangkan waktunya duduk di depan TV.

Tak ada hari yang terlewat tanpa menonton TV. Setiap orang pasti menghabiskan beberapa jam bahkan hampir seharian duduk dan menikmati tayangan ‘kotak ajaib’ itu. Benda itu menyuguhkan berbagai acara yang beragam dan menarik tanpa kompromi. Artinya, ia hadir di tengah-tengah kita dengan sukarela, kapanpun kita ingin menikmatinya, kita hanya menekan sebuah tombol. Ditambah lagi dengan hadirnya 11 stasiun TV nasional, seolah tidak ada kata bosan, kita merelakan setiap hari waktu kita bersamanya.

TV seakan-akan telah menjadi referensi umum untuk berinteraksi, menjadi acuan bagaimana bersikap dan berperilaku dalam kelompok bermain, yang kadang bertentangan dengan hal-hal yang lebih bersifat tradisional, normatif dan religius yang berasal dari orangtua, sekolah, atau budaya tempat mereka tinggal. Pada kebanyakan anak, TV sudah menjadi pilihan hiburan yang utama.

Saat ini menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), di kawasan Asia-Pasifik, lebih dari 90% rumah tangga memiliki TV dan anak-anak menonton TV antara 2-5 jam se-hari. Sementara survey YKAI terhadap anak-anak di Jakarta dari golongan ekonomi menengah ke bawah, mengabiskan waktunya dengan menonton TV antara 30-35 jam setiap minggunya. Sebuah angka yang tidak dapat dikatakan sehat untuk dikonsumsi anak dan remaja, terlebih mengingat muatan sebagian besar acara TV, baik import maupun produksi lokal, tidak mendidik dan tidak pantas dikonsumsi mereka.

Kita tidak dapat mungkiri bahwa masyarakat menyenangi tayangan berbau kekerasan, seks, dan dunia gaib. Tentu tidak bijak menyalahkan masyarakat jika menyenangi tayangan berselera rendah itu. Tetapi tentu bisnis adalah permasalahan keuntungan, tanggung jawab moral dibebankan kepada masyarakat untuk menyeleksi sendiri tayangan yang sesuai “kebaikan” untuk dirinya sendiri. Misalnya, tayangan berbagai sinetron dengan menampilkan imajinasi kekuatan dunia ghaib seperti peri, jin dan makhluk ghaib yang membantu tokoh utama untuk “mengalahkan” lawannya, yang biasanya diperuntukkan untuk anak-anak. Tentu saja pihak pengelola TV berharap, ada bimbingan orang tua kepada anak terhadap tayangan ini. Tapi biasanya ini jarang terjadi karena orangtua di Indonesia justru membiarkan anaknya sendiri menonton TV agar tidak mengganggu kegiatannya. Dapat dibayangkan, imajinasi anak akan berkembang seperti dalam sinetron itu dan hal itu jelas-jelas bertentangan dengan realitas.

Ditambah lagi maraknya penayangan infotainment, anak dapat dengan mudah mengetahui masalah orang dewasa. Misalnya, percintaan, perselingkuhan perceraian, dan lain-lain yang membuat cara berpikir anak seolah jauh di atas usia mereka yang sebenarnya. Namun tanpa konsep berpikir yang benar dan tanpa melalui tahapan proses berpikir yang berjenjang.

Televisi Membuat Dunia Menyempit
Televisi adalah jendela dunia di rumah kita, yang tidak aman sama sekali. Anggota kelompok sosial yang kita sebut keluarga “bertambah” dengan hadirnya tokoh-tokoh lain dari luar rumah, luar kota, luar negeri bahkan luar angkasa. Pesan-pesan dan informasi baik yang bersifat hiburan maupun penerangan dan pendidikan makin deras membanjiri kita.

Televisi bisa mengerutkan dunia dan melaksanakan penyebaran berita dan gagasan lebih cepat. Dengan adanya media televisi dunia kelihatan semakin kecil dari sebelumnya. Kita bisa memperoleh kesempatan untuk memperoleh informasi yang lebih baik tentang apa yang terjadi di dunia. Berita-berita aktual bisa langsung disebarkan ke berbagai pelosok dunia secara langsung. Gempa bumi, penyakit menular, kriminalitas, peristiwa olah-raga terkini yang terjadi di belahan bumi bisa disaksikan bersama-sama oleh berjuta-juta orang. Media televisi telah bisa menyatukan hati semua orang melalui informasi yang diberikan.

Kemajuan teknologi yang kian pesat menyebabkan sesuatu tidak mungkin menjadi mungkin terjadi. Seperti halnya menggabungkan antara televisi dengan komputer. Beberapa tahun yang lalu, hal ini mungkin tidak pernah terpikirkan. Namun kini, konsumen dapat menikmati kedua produk ini dalam satu peranti. Sehingga mereka tak perlu lagi menghabiskan uang untuk membeli keduanya. Hubungan melalui jaringan pita lebar (broadband) telah menghadirkan IPTV (Internet-Protocol Television) atau televisi melalui jaringan protocol internet yang bersifat multicast, dari satu sumber untuk banyak pengakses secara bersamaan. Cara ini bisa digunakan untuk mendistribusikan layanan siaran TV sama seperti televisi yang ada sekarang, termasuk melalui kabel dan satelit.

Teknologi internet yang memungkinkan komunikasi di dunia maya saat ini sudah tidak asing lagi dan semakin berkembang. Selain cepat, kita pun dapat berselancar ke berbagai situs untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Fasilitas internet, diakui banyak pihak sangat membantu dalam menyelesaikan berbagai kepentingan. Baik untuk bidang pekerjaan, pendidikan, maupun sekedar untuk bersosialisasi. Itu pula yang membuat internet makin banyak digunakan, terutama sejak dekade 1990- an. Efektivitas dalam pengiriman data, baik berupa gambar maupun teks, juga dimanfaatkan pengguna teknologi internet untuk berkomunikasi satu sama lain.

Kemajuan pertelevisianpun menyentuh pula pada industri telepon seluler, yang menandai lahirnya era ‘televisi bergerak’ (mobile television). Lahirnya TV bergerak membuat perusahaan komunikasi memiliki peluang untuk masuk ke dalam dunia hiburan dan informasi. Televisi tidak lagi hanya menjadi media searah, tetapi sudah dua arah. Pemirsa bisa melakukan interaksi dengan penyelenggara tayangan, mulai dengan mengikuti kuis, jajak pendapat, transaksi bisnis/pembelian barang, sampai memilih kamera untuk sebuah tayangan langsung.

Sampai kuartal ketiga tahun 2006, di seluruh dunia sudah terdapat 100 juta pengguna 3G dan sudah lebih dari 120 operator ponsel seluruh dunia yang meluncurkan layanan TV bergerak, di mana lebih dari 90% menggunakan jaringan seluler dua arah yang ada. Dari jaringan seluler ini ada lebih dari 2,5 miliar pengguna dengan teknologi unicast dan broadcast MBMS (multimedia broadcast multicast service). Dengan fasilitas ini menjadikan ponsel bukan lagi hanya sebatas bisa SMS, tetapi sudah merupakan media hiburan yang disebut sebagai ‘layar keempat’ setelah TV, bioskop, dan komputer.

Hasil riset Ericsson Consumer & Enterprise Lab. memperlihatkan, sekitar 70% dari seluruh pemirsa TV bergerak menonton TV di luar rumah dengan basis mingguan. Mereka menonton tayangan TV dari ponsel/PDA phone, pada saat perjalanan ke dan dari kantor atau sekolah, ketika sedang menunggu seseorang, dan selama waktu istirahat sekolah atau bekerja.

Televisi Pembentuk Opini Publik
Berbagai teori memang menyebutkan, media mempunyai kekuatan yang luar biasa. Mereka bisa bertindak mendikte, menggurui, menyuruh, memerintah, dan seterusnya. Perubahan-perubahan bisa terjadi di tengah masyarakat karena isi media, misalnya menyangkut informasi, pendapat, dan perilaku. Karena perkasanya media, ada teori lama yang menggambarkan pesan/isi media bak isi jarum suntik yang disuntikan pada pasein. Isi tersebut segera dengan cepat dan langsung menjalar keseluruh tubuh pasein. Inilah yang disebut Model Hypodermic Needle (Jarum suntik). (S. Sinansari Ecip, 2004).

Sejak tahun 1960-an, studi tentang opini publik di Amerika Serikat secara konsisten menunjukkan bahwa media massa mempunyai implikasi tertentu dalam kehidupan sosial. Persoalan-persoalan yang dilansir media massa membentuk peta pemikiran (cognitive maps) dalam masyarakat. Setelah tragedi runtuhnya simbol kapitalis Amerika Serikat oleh serangan dua buah pesawat terbang teroris, menjadi contoh yang konkrit bagaima televisi mempengaruhi pendapat umum. Dengan rentetan propaganda yang mengatasnamakan ketertiban dunia, serta didukung gencarnya penayangan di media massa, Amerika Serikat (George W. Bush) mengajak semua pihak untuk memerangi teroris tanpa jalan hukum. Amerika berhasil membangun opini, bahwa mereka sebagai pihak yang tertindas, teraniaya yang perlu ditolong dan bersimpati kepadanya. Sementara belahan bumi yang lain adalah penjahat, teroris, yang semestinya diperangi bersama tanpa ampun.

Di sisi lain, para politisi yakin bahwa sumber informasi yang paling utama berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Amerika saat ini adalah media massa televisi, disusul kemudian surat kabar, dan terakhir radio. Redi Panuju dalam ‘Relasi Kuasa” yang dikutip Roni Tabroni, menyebutkan bahwa televisi sangat berpengaruh terhadap kalangan masyarakat pasif. Kalangan ini menganggap informasi dan tayangan televisi sangat penting dan efektif. Pengaruh ini disebabkan media massa (terutama televisi) punya kemampuan menciptakan kesan (image) dan persepsi bahwa suatu muatan dalam layar kaca menjadi lebih nyata dari realitasnya (reality).

Komunikasi (media massa) dapat membangun makna ritual (ritual meaning) yang mampu menggambarkan bagaimana orang secara bersama-sama dan bekerja sama secara terus-menerus memakai makna tersebut. Dengan demikian media massa membantu orang menvisualkan masyarakatnya, perasaan-perasaannya, dan melakukan pembagian (sharing) terhadap seperangkat pemaknaan. Terakhir, media diyakini sejak lama menjadi semacam kanal yang berfungsi mengalirkan emosi dan kecenderungan destruktif psikologis lainnya menjadi gejala internal (individu) yang wajar (normal).

Televisi dan Relasi Antar Manusia
Televisi hadir sebagai sarana untuk memperlancar hubungan dan komunikasi antar manusia. Banyak perubahan dan kemajuan yang terjadi pada masyarakat abad kedua puluh dengan datangnya media masa televisi. Keluarga yang dahulu biasa berkumpul mengelilingi meja makan untuk bercakap-cakap, sekarang bukannya bertukar berita dan pandangan antara orang tua dengan anak. Tetapi sekarang meja makan telah berpindah ke depan televisi. Anak-anak lebih banyak membuang waktunya duduk di depan televisi dari pada berkomunikasi dengan orang tuanya. Suami dan isteri sampai saling beradu tegang untuk memegang remote kontrol. Seorang ibu yang sedang asyik menonton tayangan sinetron mencubit anaknya yang menangis minta diambilkan susu. Televisi telah banyak membuat kalut komunikasi yang efektif. Anak-anak remaja lebih bisa menghafal lagu dari Britney Spears daripada tugas yang diberikan guru dan orang tua.

Pada dasarnya fungsi televisi adalah memberikan hiburan yang sehat serta pengetahuan kepada pemirsanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia adalah mahluk yang membutuhkan hiburan. Adegan-adegan kekerasan, kebencian dan kejahatan, orang tua dan anak bekerja-sama melakukan kejahatan demi uang, anak-anak melawan dan memaki orang tua, murid-murid melawan guru yang akibatnya guru seperti tidak memiliki harga lagi di masyarakat, dan kejahatan moral lainnya juga sangat mudah didapatkan dalam tayangan-tayangan televisi seperti sinetron, telenovela dan olah raga. Misalnya dalam sinetron Bidadari, Dia, Bawang Putih Bawang Merah, Tersanjung, Smach Down, dan lain-lain.

Televisi dan Perubahan Tingkahlaku
Sebagai makhluk sosial, perilaku kita banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam diri kita (organismic forces) maupun dari luar diri kita (environmental forces). Kita berfikir, merasa, bersikap dan bertindak karena adanya rangsangan dari luar diri kita. Perilaku kita ditentukan oleh otak kita. Dengan 10 trilyun sel syarafnya, otak membantu kita menentukan apa yang kita pikirkan, rasakan, pelajari dan lakukan. Informasi dari luar masuk ke dalam diri kita lewat jalur inderawi (sensory pathways). Lewat mata, telinga, hidung, kulit dan lidah informasi tentang apa-apa yang terjadi di sekitar kita dan di dalam diri kita disampaikan. Sejak lahir hingga mati seseorang secara langsung atau tidak akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tingkah laku orang lain atau benda serta peristiwa di sekitarnya. Hanya lewat interaksi inilah seseorang (anak) akan menjadi dewasa dan mendapatkan kepribadiannya. Tanpa ini dia tak lebih dari seekor binatang. (Brown, 1969).

Televisi adalah media yang potensial sekali tidak saja untuk menyampaikan informasi tetapi juga membentuk perilaku seseorang, baik ke arah positif maupun negatif, disengaja ataupun tidak. Sebagai media audio visual TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau, secara umum orang akan ingat 85 % dari apa yang mereka lihat di TV, setelah 3 jam kemudian dan 65 % setelah 3 hari kemudian.

Televisi banyak mempengaruhi pemirsa secara psikologis. Banyak tayangan yang mengajak pemirsanya untuk hidup dalam dunia ilusi atau alam khayalan. Menciptakan kecemburuan yang akhirnya memaksa diri untuk melakukan kejahatan demi memenuhi hasrat. Televisi mengajarkan kepuasan sesaat, seperti iklan yang digunakan untuk menarik anak-anak dan remaja dan menarik mereka membeli suatu produk yang menipu. Televisi mengajarkan bahwa kebahagiaan berarti memiliki segala sesuatu.

Cerita-cerita yang tidak masuk akal, diluar logika, iklan-iklan yang sangat menggiurkan banyak mempengaruhi penonton. Kehidupan fantasi yang mengeksploitasi seks, kekayaan, dewi penolong. Sinetron ataupun film di televisi banyak menyajikan model tindakan dan konsekuensi yang sepenuhnya tidak realistis. Pahlawan-pahlawan film bisa mengatasi masalah yang paling sulit dalam hitungan detik. Model seperti ini bisa mempunyai pengaruh atas cara pendekatan anak-anak kepada masalah.

Ishadi SK, mantan Dirjen RTF (Radio Televisi dan Film) Departemen Penerangan yang juga pemilik sebuah stasiun televisi swasta ternama ini mengatakan, televisi memang berpengaruh setidaknya menciptakan the similar general meaning atau makna umum yang mirip. Artinya, pemirsa akan mencoba memahami makna tertentu dari tayangan itu, lalu melakukan sesuatu yang dianggap sama dalam konteks kehidupan sehari-hari mereka.

Pengaruh negatif televisi lewat sikap hidup konsumtif mencengkeram ABG (anak baru gede), yang harus senantiasa mengikuti mode. Tentu saja ini semua menuntut biaya yang tinggi. Sampai-sampai beberapa ABG yang memaksa diri hidup dengan standar sedemikian tinggi, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. Hal-hal itu dapat mereka lihat dan pelajari dari tayangan sinetron dan film, yang mengisahkan gaya hidup mewah tanpa disertai latar belakang memadai tentang kerja keras dan jujur untuk mencapai kesuksesan. Dapat disimpulkan, ada proses belajar sosial di tengah masyarakat dan guru yang paling baik dan menarik adalah televisi. Dengan menonton televisi ada proses penyebaran dan penanaman nilai-nilai kepada masyarakat, sekaligus sebagai rekonstruksi atas nilai-nilai yang sudah tertanam sebelumnya. Ini dapat kita lihat dengan persoalan perselingkuhan di kalangan artis misalnya.

Dapat dibayangkan, kesenjangan budaya yang terjadi di masyarakat dan apa yang ditayangkan televisi bertolak belakang dengan kehidupan mereka dan nilai-nilai, yang selama ini tertanam baik di diri mereka. Belum lagi penayangan kekerasan yang akhirnya membiasakan kita untuk terbiasa dengan hal itu, dan penayangan iklan sebagai contoh kecantikan. Ia akan merekonstruksi makna cantik menjadi seragam di pikiran setiap orang, yakni cantik berarti berkulit putih, kurus, rambut lurus, hidung mancung dan tinggi semampai. Maka yang terjadi setiap perempuan berlomba untuk konsumtif agar sesuai kriteria cantik menurut aturan televisi.

Program Televisi sebagai Budaya Populer
Pada dasarnya, TV mempunyai dua fungsi: sosial dan komersial. Ketika fungsi komersial lebih menonjol, maka yang muncul adalah terjadinya pengabaian hak-hak publik untuk mendapatkan tayangan berkualitas demi rating yang tinggi. Kini televisi saling mengekor, bukan mengekor kualitas acaranya atau produksinya, tapi mengekor rating. Rating yang tinggi harus diikuti dan dibuat tandingannya. Tayangan-tayangan beraroma kekerasan, mistik dan seks, yang lebih mengundang iklan, meruyak. Tayangan-tayangan seperti itu hampir mendominasi semua stasiun TV swasta kita. Saking seragamnya, secara berseloroh, ada yang mengatakan, kalau saja dihilangkan nama stasiun TV di pojok layarnya, maka kita tidak akan bisa menebak stasiun TV mana yang tengah menayangkan suatu acara. Betapa pun memiliki banyak stasiun TV swasta, dengan mengabaikan Metro TV, kita seperti hanya memiliki satu stasiun TV swasta.

Banyak ragam tayangan di TV yang menyuguhkan acara seperti itu, misalnya sinetron yang bertema klenik dan hantu, entah untuk mendidik otak pemirsa bagian mana? Yang jelas kita cukup dikagetkan melihat anak kecil takut akan hantu, ketika ditanya hantu itu seperti apa ia hanya berseru satu kata, pocong. Dari mana anak kecil berumur tiga tahun tahu tentang pocong? Sudah tentu dari televisi. Lagipula pocong itu bukanlah hantu. Hantu hanya ada di pikiran, kita sendiri yang menciptakan sebuah ketakutan bernama hantu.

Frekuensi dan intensitas informasi yang kita peroleh akan menentukan apakah perilaku kita akan terpengaruh oleh informasi tersebut. Informasi yang sama, senada atau serupa yang masuk secara berulang-ulang ke dalam diri seseorang akan memberikan pengaruh yang berbeda dengan apabila informasi tersebut hanya diterima sekali. Seringkali tanpa disadari informasi tersebut terinternalisasi ke dalam diri kita dan selanjutnya terealisasikan dalam bentuk perilaku tertentu. Bahkan sesuatu informasi yang salah karena berulang-ulang disampaikan tanpa disadari akan dianggap sebagai suatu kebenaran.

Berdalih menyebarkan informasi kini acara-acara liputan kriminal semakin banyak. Bahkan kejadian kriminal skala kecil pun diekspos besar-besaran, seperti maling ayam yang babak belur dihajar massa, seolah memberi contoh kepada masyarakat lain untuk berbuat sama, bermain hakim rame-rame. Mungkin kita hanya bisa sedikit tersenyum melihat acara Tangkap. Padahal, sebagai kontrol sosial, media massa, khususnya televisi, mestinya sejalan dengan teorinya bahwa tindak kejahatan akan semakin berkurang ketika semua dibongkar dan dibuka ke publik. Alasannya, ini akan mengakibatkan efek jera bagi pelaku dan membuat orang berpikir dua kali ketika akan melakukan hal yang sama. Akan tetapi, kenapa yang terjadi malah sebaliknya? Seolah-olah berbagai laporan kriminal dengan mempermalukan pelaku kejahatan itu menjadi contoh kepada mereka yang belum melakukan dan menjadi hiburan kepada yang pernah melakukan sehingga semakin memanggil orang untuk ikut melakukan kejahatan yang sama.

Negeri ini sebagian besar penduduknya muslim. Dengan dalih nafas Islam, disuguhkan pula kini acara-acara klenik dan mistik berwujud syiar Islam. Seni peran dikacaubalaukan untuk kepentingan suguhan cerita-cerita superstisius. Konsep ghaib dalam Islam dirusak dan disamakan dengan ilmu syirik, membuat masyarakat malah lebih percaya kepada syirik dan bahkan menuhankan ilmu syirik.

Ketika Tukul Arwana (aslinya; Tukul Riyanto) sukses membawa acara ‘Empat Mata’ di Trans 7, sebuah talk show yang menggunakan perspektif komedi dan selalu menghadirkan Selebriti di setiap episodenya, dan memperoleh rating tertinggi, hampir semua stasiun TV menyajikan format acara yang hampir bahkan sama, Senin Malam Show (SMS) di Indosiar, Ringgo Star di ANtv, Bincang Bintang di RCTI, dan masih banyak lagi.

Kalau mau jujur isi acara Empat Mata memang tidak seberbobot dengan acara-acara talk show lainnya. Namun masyarakat sekarang menyukai acara talk show ini karena kekonyolan, kepolosan banyolan Tukul, dan lontaran-lontaran lelucon yang dilemparkan kru terhadap Tukul, dan satu lagi yang tidak kalah menarik…bintang tamunya yang hampir sebagian besar adalah artis wanita. Tukul dengan “Empat Mata”-nya sedang berada di puncak popularitas. Bayangkan, katanya Tukul dibayar sekitar Rp20.000.000,- per episode. Dan hebatnya lagi katanya penghasilan Tukul per tahunnya sama dengan setengah penghasilan David Beckham. Ada yang pernah menghitung, katanya per 2 menit Tukul menghasilkan Rp1.000.000,-. Sebagai seorang komedian Tukul menghebohkan Indonesia dengan banyolannya, juga dengan idiom-idiomnya. Siapa yang sekarang tidak tahu “Kembali Ke Laptop”, “Puas kamu puas?!!!”, “ndeso….”, dsb.

Program Televisi dan Anak-Anak
Kendati bukan media interaktif bagi anak-anak, televisi termasuk medium yang sangat diminati. Hal ini karena televisi bersifat audio visual. Televisi mampu menghadirkan kajadian, peristiwa, atau khayalan yang tak terjangkau panca indera ke dalam ruangan atau kamar anak-anak. Televisi juga mampu mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar kendati ditayangkan sekilas. Dari penelitian terhadap 260 anak-anak sekolah dasar di Jakarta, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) membuktikan, televisi ternyata medium yang banyak ditonton dengan alasan paling menghibur. Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa anak-anak tak mungkin diisolasi dari tayangan televisi. Posisi anak-anak atas tayangan televisi memang sangat lemah. Hal ini berkaitan dengan sifat anak yang di antaranya: pertama, anak sulit membedakan mana yang baik atau buruk serta mana yang pantas ditiru atau diabaikan. Kedua, anak tak memiliki selfcensorship dan belum memiliki batasan nilai. Ketiga, anak nonton bersifat pasif dan tidak kritis. Akibatnya, semua yang ditayangkan akan dianggap sebagai kewajaran.

Sifat-sifat itu tentu saja sangat rentan bila tayangan (film, kartun, sinetron, infotainment, kuis, telenovela atau video klip) yang antisosial seperti kekerasan dan pornografi menerpa mereka. Lebih-lebih kualitas tontonan yang ditayangkan televisi komersial di Indonesia umumnya masih jauh dari memihak kepada anak-anak. Hasil penelitian dua tahun silam, bahkan menunjukkan acara anak-anak di seluruh televisi swasta hanya 32 jam dari kebiasaan anak-anak Indonesia menonton selama 68 jam dalam sepekan. Ini berarti selama 36 jam anak-anak menonton acara televisi yang hanya pantas ditonton orang dewasa.

Tak ada jalan lain, beragam program televisi yang hadir menjumpai kamar anak-anak mendorong orangtua dan guru harus melek media (media literacy). Artinya, orangtua dan guru harus cakap mengoperasikan media; cakap membaca simbol-simbol di belakang makna tayangan; cakap mencari, memilih dan memilah media; serta kalau bisa cakap memproduksi tayangan atau program televisi. Sejak masa anak-anak seseorang perlu diakrabkan dengan lexicon atau peristilahan khas yang berlaku di dunia audio dan visual. Agar isi pesan dapat dicerna oleh anak, perlu diberikan informasi tentang ide yang ada di balik program; perlu penjelasan mengenai kata-kata asing dan informasi tentang efek khusus (special effects) seperti lighting dan angle kamera; perlu menciptakan situasi diskusi menyangkut pengalaman tiap anak yang diterima dari program TV dan isi pesannya.

Pornografi dalam Media
Kecanggihan teknologi bersifat dinamis. Dari waktu ke waktu selalu ada penemuan baru yang semakin mewujudkan harapan manusia. Sejak web camera atau kamera mini dapat dipasang dan digunakan bersama pada komputer, ‘berselancar’ di dunia maya menjadi semakin menyenangkan. Dengan fasilitas tersebut, pengguna internet dapat saling mengirimkan gambar, termasuk gambar diri yang sifatnya pornografi. Tak heran, saat ini banyak adegan seronok yang beredar luas di kalangan masyarakat. Jika dibiarkan, masalah semacam ini berpotensi meresahkan masyarakat. Internet sesungguhnya diciptakan sebagai alat untuk mempermudah saling berkomunikasi maupun mencari berbagai data. Namun, kemudahan itu kemudian menjadi celah pula bagi kelompok yang ingin mencari uang dengan cara sesat. Di antaranya adalah kehadiran para wanita panggilan yang sengaja menggunakan media online untuk menjajakan diri.

Kemajuan teknologi memang telah mengantarkan kita ke berbagai hal di seluruh penjuru dunia, hingga ke dalam ruang pribadi sekali pun. Arus pornografi pun ikut masuk dan tidak terbendung. Bahkan, kemajuan teknologi itu sendiri semakin memudahkan orang untuk menemukan berbagai hal terkait syahwat. Jika di media cetak orang bisa mendapatkan pelayanan seks berkedok pijat atau kontak jodoh, di internet layanan yang ditawarkan justru lebih vulgar. Untuk mengakses situs yang memuat materi berbau pornografi tidak sulit. Jika tidak tahu alamat situsnya pun, bisa hanya dengan mengetik kata kunci pada situs pencari saja. Dalam beberapa detik, maka sejumlah situs porno yang diinginkan akan muncul di layar komputer.

Prostitusi bisa dikatakan sama tuanya dengan peradaban manusia, dan akan selalu mencari cara sendiri untuk mendapatkan tempatnya. Sementara, perkembangan teknologi yang kian pesat, sulit untuk dibendung. Meski demikian, kemajuan teknologi tidak dapat dituding sebagai penyebab utama penyebaran pornografi. Tanggung jawab pemanfaatan teknologi, terutama berada dalam kendali para pengguna itu sendiri.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Di tengah sistem pasar global yang membuat pihak broadcasting/TV cenderung menayangkan program-program impor dan sangat berorientasi profit, di tengah orang-orang TV yang kurang memiliki integritas terhadap tayangan yang berkualitas, di tengah regulasi, kepastian hukum, dan niat baik pemerintah yang minim demi munculnya program-program yang berpihak kepada publik, maka keberpihakan lembaga independent sejenis KPI sebenarnya sangat diharapkan. Terlebih KPI memiliki wewenang bahkan sampai pada mencabut izin penyiaran jika program-programnya telah melampaui aturan main yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3/SPS) yang merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh KPI sendiri. Tapi sampai detik ini, meskipun banyak tayangan yang dapat dikatagorikan melanggar P3/SPS pun, kita belum pernah mendengar ada stasiun TV yang dicabut izin penyiarannya.

Terlepas dari kenyataan bahwa KPI seperti ada dan tiada, tidak ada salahnya kita memanfaatkan lembaga ini sebagai tempat penyaluran atas komplain kita terhadap tayangan yang bermasalah. P3/SPS dari KPI, Bab VII Pasal 27 menyatakan bahwa setiap orang atau sekelompok orang yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dapat mengadukannya kepada Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah. (dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar